Kamis, 11 Juni 2009

Jodoh ku Jumat Kliwon


Tersedak aku menahan kaget dari deringan telephone yang meraung tepat ada di samping kiri telingaku. Serta merta kuah mie instan yang menggenangi separuh mangkuk yang dari tadi bersemedi di atas telapak tangan ku, tercecer berurai membasahi lantai putih dapur rumah ku. Dengan batuk-batuk kecil sampai sedang mendendang di sela-sela tenggookan, aku mencoba mengendalikan diri ku. Sontak aura marah menyelimuti wajah ku, "Anjrit,,,, siapa gerangan orang yang tak tahu sopan santun ini". Gumamku sambil meletakkan mangkuk ayam jago diatas meja makan.
"Halo......"

"Halo......"
"Ini siapa??", dengan nada sedikit lebih tinggi dari nada dasar ku coba menghardik si penelephone misterius itu.
"Tole......"
"Ini ........", belum selesai si empunya suara itu mengakhiri kalimatnya, langsung saja aku potong dengan hentakan pedang kata-kata kesal ku.
"Woi ini siapa??? Salah sambung....", hahahahaha, sedikit jumawa ku gertak penelephone misterius itu dengan sebuah kalimat intimidasi tak sopan namun ampuh untuk membuat kapok orang yang telah menumpahkan semangkuk mie instan yang begitu aku cintai. Sedikit ku sunggingkan senyumku dan bergegas menutup telephone itu, namun tiba-tiba terdengar suara lemah lembut keluar dari gagang telephone ku.
"INI EYANG PUTRI",,,, dengan nada kesal si empunya suara itu mencoba mencekikku.
Alamak,,,,,,,,, util-util tumit,,, hahahahahaha,,, kalimat umpatan ku karena kebodohan yang aku lakukan. Hmmmmm aku benar-benar malu, telah bersikap gak sopan ama eyang putri ku,, wah-wah bisa-bisa waktu pulang kuliah ke malang besok aku gak dikasih sangu neh.
Dengan jantung yang masih gemuruh seperti genderang perang, aku mencoba bersikap santai, tapi sial,,,, lidah merah ku yang menjulur seperti kue cenil seraya tak mau kompromi. Maksud hati mengucapkan kata-kata maaf dengan lancar tapi apa daya...
"mmm.........", dengan terbata-bata kucoba mengkontrol lidah tak bertulang ku.
"mmmmm.... maaf eyang, aku pikir siapa tadi..", hufffffff akhirnya kumenangkan juga peperangan melawan rasa gemeliur bersalah yang menerpa dan menghipnotis lidah ku.
"Kamu ini, sama orang tua nggak tau sopan santun", hardik eyang putri ku berusaha menyudutkan ku pada ring penyesalan. Belum sempat ku meratapi rasa bersalah ku, eyang putri ku sudah nerocos lagi. Seperti air terjun niagara yang tak pernah kering, begitu pula dengan kata-katanya. Namun sejatinya eyang ku tak sejahat dan secerewet yang teman-teman bayangkan. Beliau adalah tipe eyang yang sangat sayanag dengan anak dan cucunya, namun maklumlah naluri embah-embah,, bawaanya bawel mulu, hehehehe peace eyang, peace.
"Tole, kamu nanti malam di suruh ngadep eyang kakung sendiri. Jam 20.00 gak boleh terlambat. NGERTI !!!", hmmmmm,, ini eyang putri ku apa panglima kostrad,, kok nadanya singkat padat dan jelas. Maka seketika langsung ku jawab,,
"Siap, laksanakan eyang!!!", dengan suara lantang yang tak kalah seru ku jawab eyang kostrad ku sambil langsung menutup telephone nya.
================================ 2 ================================
Badai spekulasi berkecamuk pada saraf otak ku, yang terus menyambar dan tak mau berhenti menghantam lapuknya pendirian ku. Merong-rong pikiran positif ku yang membuat ku tersandung pada aura negatif yang kuciptakan sendiri.
"Ada apa ini,, belum pernah eyang kakung meminta ku menghadap seorang diri, kesalahan apa yang telah aku lakukan?",, gumamku membelah racaunya otak ku. Kawan, perlu kalian ketahui, bahwa aku lahir, hidup dan tinggal dalam sebuah keluarga besar jawa yang masih menganut paham jawa kuno alias masih sangat berkiblat pada suasana kerajaan. Yahhhh, maklumlah kawan, keluarga ku memang masih keturunan bangsawan dari salah satu kraton dijawa tengah. So gaya pendidikan keluarga sangat sentralis kepada eyang kakung yang nota bene adalah generasi tertua dalam keluarga. Sistem patrialis yang kami anut benar-benar kadang membuat hal-hal sepele menjadi hal yang sangat rumit.
Setiap anggota keluarga harus hidup besarkan aturan yang berlaku di keluarga, menjaga kehormatan dan nama baik keluarga adalah hal yang sama sekali tak bisa di tawar. Lebih baik mati berkalang tanah dari pada hidup berkalang bangkai, mungkin itulah semboyan keluarga kami untuk tetap menjunjung tinggi kehormatan keluarga sebagai salah satu penerus generasi kraton yang dijadikan panutan bagi masyarakat sekitar tempat tinggal kami. Dan tahukah engkau kawan, setiap anggota keluarga yang membangkang atau tidak menuruti titah paduka eyang kakung ataupun dewan penasehat keluarga, maka yang bersangkutan harus rela di keluarkan dari keluarga dan harus melepas nama belakang yang kami semua menyandang nya. Hmmm sebuah hukuman yang sangat berat dari sebuah konsekuensi sistem patrialis yang masih diterapkan di era lumpur lapindo ini.
Keluarga kami sangat percaya dengan yang namanya pakem jawa yang terangkum dalam sebuah kitab jawa kuno yang diberi nama PRIMBON. Di dalam primbon dan pakem jawa mengatur banyak sekali hal-hal di dunia ini. Mulai dari gejala alam yang di kaitkan dengan sebuah kepercayaan sebagai peringatan dan pertanda terhadap kejadian yang akan terjadi, misalnya munculnya lintang jogo belek (bintang jogo belek), yang berarti negara akan berduka atau akan terjadi duka nasional, kemudian munculnya lindu (gempa kecil) pada jam-jam tertentu dan hari-hari tertentu juga merupakan sebuah peringatan dari yang maha kuasa kepada manusia untuk lebih berhati-hati. Primbon itu juga mengatur masalah perjodohan yang dikaitkan dengan WETON. Mungkin bagi kawan-kawan yang berasal dari suku jawa, kata-kata weton sudah tidak asing lagi. Ya memang benar, weton adalah sebuah hitungan atau sebutan untuk hari kelahiran seseorang, misalnya jumat kliwon, slasa pahing, rebo wage dan seterusnya. Weton ini menyangkut rejeki, jodoh dan hal-hal lain yang bersangkutan dengan diri seseorang.
Di dalam jawa, semua memang bekerja serba misterius. semuala aku tak percaya dengan tahayul orang orang tua yang berusaha mempertahankan tradisi di era lapindo jaman face book. Namun lambat laun aku mulai percaya meskipun tidak sepenuhnya, karena kata eyang dari jawa tengah si pengarang kitab primbon tidaklah orang yang ngawur dengan spekulasi seenaknya sendiri. Untuk merumuskan primbon, para ilmuwan-ilmuwan jawa kuno telah melakukan penelitian selama beratus-ratus tahun dengan melakukan lebih dari seribu pencatatan untuk setiap kejadian alam yang terjadi dan setiap hal yang terjadi pada setiap indifidu. Kepercayaan ku bukanlah sebuah hal yang tak berdasar, karena setiap orang yang melanggar hal-hal atau ketetapan yang telah di tetapkan dalam primbon pasti bakal celaka, semua itu sudah aku dapatkan buktinya dan secara rasional akal ilmiah bisa diterima. Misalnya dalam primbon tidak diperbolehkan anak terakhir (cowok) menikah dengan anak terakhir (cewek) yang ibu nya juga merupakan anak terakhir dari keluarganya. Secara genetis hal tersebut memang disarankan untuk tidak dilakukan karena sifat resesive dari gen akan muncul dan peluang terjadi kecacatan untuk keturunannya sangat besar. Misterius tapi masuk akal, mungkin itulah gambaranku terhadap ilmuwan-ilmuwan kuno pada zaman gajah mada dulu. Tapi percaya gak percaya tergantung anda menyikapinya kawan.
Malam itu hampir pukul 20.00, jantungku semakin tak beraturan memompa darah. Kadang kepala terasa panas, kadang keluar keringat dari leher, menunjukkan fluktuasi metabolisme yang tidak wajar pada tubuh ku dikarenakan tegang yang berlebihan. Aku sangat hormat dan segan pada eyang kakung ku, karena beliau sosok idola yang patut untuk di contoh. Tegas, lugas dan berpendirian tak tergoyahkan meskipun air bah situ gintung menerjang beliau. Ucapannya adalah sabda dan tingkahnya adalah tauladan bagi para seluruh anggota keluarga, begitulah gerangan beliau yang telah menginjak usia 95 tahun. Dengan usai yang hampir seabad itu hanya nampak sedikit guratan usia diwajahnya, rutinitas bekerja di sawah sama sekali masih menjadi menu olah raganya. hmmmmmm, betapa hormatnya aku pada beliau. Dan tahukah engkau kawan, setiap anggota keluarga yang di panggilnya pasti sedang dalam masalah. Nah malam ini tiba-tiba aku yang di panggil, haduhhhhh, apa gerangan dosa tak terdeteksi yang telah aku lakukan.
Jarum jam melaju dengan kecepatan yang biasa-biasa saja, berdetak setiap detik dan semakin mendekati waktu untuk menghadap eyang kakung. Gundah gelana menerpa wajahku, nampaknya ibu ku pun bisa mengartikan bahasa dari wajah hitam tak beraturan yang aku miliki meskipun dari tadi sudah aku sembunyikan dengan guyonan-guyonan tak jelas untuk mengelabuhi ibu, tapi ternyata ketahuan juga.
"Wajah mu kok aneh gitu?? kamu kenapa le??", sahut ibu ku sontak membuat tertariknya adrenalin ku sehingga membuat ku terkejut.
"mmmmm anu bu, anu,,", sambil mengucapkan kata-kata itu aku terus menggeleng-gelengkan kepala ku mirip ayam yang terkena firus tetelo.
"Kamu di panggil eyang kakung ya, ibu sudah tau kok", jawab ibu ku dengan wajah yang datar.
"Ibu, kira-kira kenapa ya aku dipanggil eyang kakung??", sambil gemetar kuucapkan kata-kata itu untuk menyahut ibu ku.
"Kamu mau dikasih wejangan, nanti kamu juga tau sendiri", balas ibu ku dengan wajah yang masih amat sangat datar.
Sahut ibu ku sama sekali tak memberikan solusi, malah menambah letupan-letupan penasaran pada diri ku. Gerakan seismik yang menggetarkan jantungku dari tadi sama sekali tak mau berhenti, akhirnya aku putuskan untuk menueret keluar bebek merah ku dan menancapnya dengan syahdu nan sendu.
Gerak angin yang gontai, hawa malam melambai-lambai menerpa kaos biru muda berpadu dengan warna kuning di tengahnya, seraya mencoba mendramatisir perjalanan ku ke rumah eyang yang hanya berjarak 1,5 Km dari rumah ku. Karet rem berdecit, ban belakangku nampak bergeser melawan gaya gesek yang terjadi akibat gaya berlawanan arah yang timbul antar ban belakang ku dengan pasir-pasir yang berada di halaman depan ruamh eyang ku. Belum sempat aku melerai gesekan antara ban dengan pasir dan belum sempat juga aku memarkir bebek merah ku, tiba-tiba ada yang meraung menyalak dan menggonggong di depan ku. Hmmmmm, itu adalah seto dan jacky, dua anjing penjaga rumah yang di pelihara oleh eyang kakung ku. Kedua hewan itu menyalak heroik seperti bintang film cihua-hua, ,,
"haei-hei, seto, jacky, ayo masuk", kedua dober man itu langsung tertunduk kikuk mematuhi perintah tuannya. Aku pun ikut terperanjat melihatnya, ternyata si tuan tersebut adalah eyang kakung ku.
"Masuk le,", tanpa basa-basi dan prakata penyambutan, beliau langsung menyuruh ku masuk.
Seperti biasa, saat aku kerumah itu, aku selalu disambut hangat oleh eyang putri ku. Meski tadi sempat kau bentak dalam telephne, nampaknya hal tersebut tidak mengubah hangat kasih eyang putri ku kepada ku. Dengan sedikit pelukan yang kemudian di pererat dan dilanjutkan dengan cipika-cipiki, begitulah cara eyang putri menyapaku. Sedangkan eyang kakung masih tenggelam di dalam kursi singgasananya di ruang tamu.
"Sini, duduk sini le,,", suara eyang kakung memecah kehangatan sambutan eyang putri ku. Aku pun mirip seto dan jacky langsung menuruti perintah beliau.
"Sendhika dawuh eyang kakung", sahut ku dengan logat ala pewayangan menjawab suara khas eyang kakung ku. Eyang kakung pun membuka dengan percakapan-percakapan hangat ala maha guru yang memberikan wejangan pada muritnya. Sedangkan aku hanya bisa menatap dasar meja segi empat berukiran mirip batik yang terbuat dari kayu jati yang adri tadi dengan setia ikut mendengarkan wejangan eyang kakung. Sambil terus manggut-manggut dan tanpa pernah menatap beliau, begitulah cara dan tatakrama keluarga ku untuk menghormati orang yang lebih tua.
Jam yang berukuran jumbo terbuat dari kayu berbentuk kubus dengan atapnya hampir membentuk prisma dan bertahtakan naga terus berdetak mengiringi wejangan demi wejangan eyang kakung ku. Obrolan pun berlanjut hingga tengah malam, suara eyang kakung yang berorasi mirip dengan faunding father kita benar-benar banyak memberiku sebuah inspirasi, tak terasa hampir dua jam setengah kita berdiskusi hingga akhirnya tibalah pada inti dari orasi yang eyang kakung sampaikan.
"Kamu orang jawa?", sergap eyang kakung menjebakku.
"Inggeh eyang", sahut ku pelan dan tetap menunduk.
"Kamu tahu adat jawa dan keluarga kita?", pertanyaan eyang ku benar-benar mengepung ku. Hingga susah sekali rasanya nafas ini ku hirup.
"Inggeh eyang", jawab ku dengan fose masih manggut-manggut dan tetap menunduk.
"Hmmmmmmm", sejenak eyang berdehem sambil menghisap rokok yang selalu ada pada pipanya. Sedikit ku tinggikan mata ku untuk melirik ekspresi beliau, namun belum sempat aku mengobserfasi wajah tua itu, tiba-tiba semua yang ku pandang berwarna putih. Anjriiiiiit, ternyata kepulan asap dari eyang membuat buta mata ku untuk beberapa saat.
"Kamu mau ngatur orang tua apa di atur orang tua??", timpal eyang ku sambil menghembuskan asap putih yang setia tinggal di mulutnya.
Malam semakin hening, ngingang-ngingang pertanyaan eyang kakung ku yang terakhir benar-benar mengepung ku seperti pasukan mao tzedong. Benar-benar pelan namun mematikan, pertanyaan yang sarat makna, intrik dan metafora. Aku sadar, bahwa pertanyaan ini tak ubahnya sebuah simalakama yang menggertak dan memasung. Membuat aku seperti manohara yang kebingungan akan apa yang harus di lakukan. Namun bagaimanapun juga sebagai penerus keluarga yang diwarisi sifat ksatria, aku harus menjawab pertanyaan itu dengan wibawa apapun resikonya.
"mmmm,,, saya pengennya diatur orang tua eyang", sahut ku dengan penuh keyakinan membalas sergapan pertanyaan itu.
"Kalu memang begitu, kmu harus putus dengan pacar kamu yang sekarang", dengan sorot mata elang dia menatapku untuk lebih meyakinkan tentang ucapannya kepada ku.
"Putus eyang, memang salahnya apa??", tanya ku seraya memberontak dengan keputusan itu.
"Weton kamu dengan dia tidak cocok, kamu senin legi sedangkan dia selasa pahing. Kalo kamu tetap meneruskan hubungan itu, maka hanya akan membuat kamu merasakan sakit hati dan tersiksa". Penjelasan eyang ku disertai dengan kitab primbon betal jemur yang tersohor karena akurasinya. Belum sempat aku membantah kata-kata itu, tiba-tiba eyang sudah berorasi lagi.
"Selain itu, kamu dan dia ragil kuning. Tole, putu ku. Eyang ini weruh sakdurunge winalah (tahu sebelum kejadian), eyang sangat percaya dengan mata batin eyang. Putus dia sekarang", celoteh eyang ku menutup orasinya.
Setengah tidak percaya aku harus mengamini kalimat eyang ku itu. Kami sekeluarga tau bahwa eyang mempunya kelebihan indera ke enam, entah percaya atau tidak, kadang beliau bisa melihat pertanda-pertanda untuk masa depan. Sukar dipercaya memang, namun begitulah kepercayaan keluarga kami. Sejenak aku diam membisu, meliarkan lamunanku tentang apa yang harus aku lakukan. Aku benar-benar mencintai wanita ku, aku sangat menyayangi dia. Dia ibarat

0 komentar: